Tuesday, June 11, 2013

Pendekatan Creative Problem Solving (CPS)

Dalam kehidupan di dunia ini kita tidak akan lepas dari masalah sebagian orang mengatakan bahwa kehidupan ini sebenarnya adalah akumulasi dari masalah. Setiap saat kita akan dihadapkan dengan suatu masalah atau bahkan sejumlah masalah yang harus dipecahkan secara serempak.
Masalah atau problem dalam kamus Webster (Guralnik, 1962: 1161) dinyatakan sebagai “anything required to be done, or requiring the doing of something” segala sesuatu yang harus dilakukan atau menuntut pengerjaan. Batasan tersebut berlaku umum mencakup segala aspek kehidupan baik itu oerasaan sulit yang harus dipecahkan, rintangan yang harus dihadapi, perbedaan pendapat yang harus dijembatani, situasi yang berbeda dengan kehendak kita, atau bahkan soal-soal matematika yang harus dipecahan.

Berdasarkan tujuan pendidikan nasional secara mikro, salah satu indikator keberhasilan pendidikan nasional adalah lahirnya sumber daya manusia yang kreatif. Kreativitas ini akan terlihat dalam cara bagaimana siswa dapat memecahkan suatu kesulitan, rintangan, atau menjembatani suatu perbedaan pendapat ataupun suatu harapan dan kenyataan yang tidak sesuai secara logis, efektif dan efisien (Mulyasa, 2002: 21).

Penetapan kemampuan memecahkan masalah (bernalar tinggi) sebagai tujuan pembelajaran matematika sangat tepat. hal ini dapat dipahami sebab pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari delapan tipe yang dikemukakan Gagne (dalam Suherman, 2003: 89). Gagne (dalam Suherman, 2003: 89) mengemukakan delapan tipe belajar yaitu, “Signal learning, stimulus-response learning, chaining, verbal association, discrimination learning, concept learning, rule leraning, dan problem solving”. Pemecahan masalah merupakan perapaduan dari berbagai proses belajar sebelumnya.
Polya (dalam Suherman, 2003: 99) mengemukakan bahwa,
Dalam pemecahan suatu masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu: (1) memahami masalah, (2) merencanakan pemecahannya, (3) menyelesaikan masalah sesuai rencana langkah kedua, dan 4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh (looking back).

Untuk pembelajaran di Indonesia, Ruseffendi (dalam Rusmiati, 2007: 22) melengkapi langkah-langkah Polya itu menjadi:
1.      menulis kembali soalnya dengan kata-kata sendiri;
2.      menulis persamaannya;
3.      menulis cara-cara menyelesaikan sebagai strategi pemecahan;
4.      mendiskusikan cara-cara penyelesaian tersebut;
5.      mengerjakan;
6.      memeriksa kembali hasilnya; dan
7.      memilih cara penyelesaian yang paling baik.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam kenyataannya mungkin saja tidak setiap langkah harus dipergunakan. Misalnya saja dengan melihat persoalan itu sepintas siswa sudah dapat menemukan cara menyelesaikanya. Jadi tidak perlu ada rencana lebih dulu. Selain itu Dewey (dalam Rusmiati, 2007: 22) secara singkat mengajukan langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut: “(1) menyajikan masalah; (2) mendefinisikan masalah; (3) mengembangkan beberapa hipotesis; (4) menguji hipotesis-hipotesis itu; dan (5) memilih hipotesis yang terbaik”.
Berikut ini adalah uraian singkat dari langkah-langkah Polya:
1.      Memahami Masalah
Memahami masalah merupakan tahap yang sangat penting dalam menyelesaikan suatu masalah. Tanpa memahami masalah dengan baik, tentunya seseorang tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Untuk memahami masalah, perlu menjawab pertanyaan sebagai berikut; hal-hal apa yang tidak diketahui? Apakah data itu sudah cukup untuk menyelesaikan masalah? Apakah data tersebut bertentangan?
Dalam proses pembelajaran ini, siswa dapat memahami masalah dengan menuliskan semua hal atau data-data yang diketahui dari masalah tersebut.
2.      Menyusun rencana
Pada langkah ini ditentukan hubungan antar hal yang diketahui dengan hal yang tidak diketahui, selanjutnya disusun rencana pemecahan masalahnya, dengan memperhatikan hal-hal berikut: apakah siswa pernah menemukan masalah itu sebelumnya? Apakah siswa dapat menggunakan teorema untuk menyelesaikan masalah itu? Teori mana yang dapat digunakan dalam masalah itu? Apakah semua data dan semua kondisi dapat digunakan?
Dalam proses pembajaran ini, siswa dapat menyusun rencana dengan membuat sistematika langkah-langkah penyelesaian. Ada banyak strategi yang bisa digunakan, jangan ragu-ragu untuk menggunakan salah satu dari strategi untuk digunakan menyelesaikan soal-soal yang kita hadapi. Pada umumnya, strategi berhasil ditemukan setelah beberapa kali mencoba strategi yang gagal.
3.      Melaksanakan rencana
Langkah ini lebih mudah dibanding menyusun strategi. Di sini hanya diperlukan kesabaran dan kehati-hatian untuk menjalankan. Dalam proses ini, siswa dapat menjalankan rencana yang telah disusunnya. Kemudian diperiksa setiap langkah yang telah disusun apakah sudah benar? Bagaimana membuktikan bahwa langkah yang ditempuhnya sudah benar?
4.      Memeriksa kembali
Dalam tahap ini diusahakan untuk mengontrol langkah-langkah yang telah dilakukan, apakah sudah benar atau tidak? Jika ada kesalahan dimana letak kesalahannya itu dan bagaimana cara memperbaikinya? Selanjutnya kalau perlu menyusun strategi baru yang lebih baik atau menuliskan jawaban dengan lebih baik.

CPS atau pemecahan masalah menurut Yudianto (2003: 26) merupakan teknik yang sistematik dalam mengorganisasikan dan mengolah keterangan dan gagasan, sehingga masalah dapat dipahami dan dipecahkan secara imajinatif. Karena sifat CPS dan sifat matematika memiliki kemiripan yaitu bekerja secara runtut, runut, dan sistematis, maka CPS dapat diterapkan di dalam matematika. Lima langkah CPS  yang didefinisikan oleh parnes sebagai Presiden dari Creative Problem Solving Foundation (CPSF) (dalam Munandar, 1999: 206), yaitu tahap menemukan fakta, tahap menemukan masalah, tahap menemukan gagasan, tahap menemukan penyelesaian, dan tahap menemukan penerimaan.
Sehubungan dengan tingkatan dalam proses kreatif, Shallcross (dalam Munandar, 1999: 207) membedakan antara primary creativity (kreativitas primer) dengan secondary creativity (kreativitas sekunder). Kreativitas primer ialah proses pemecahan masalah secara alamiah oleh pikiran kita, karena pemikir tidak menyadari bahwa terjadi suatu proses. Kreativitas sekunder ada peningkatan kesadaran dalam pemecahan yang berlangsung melalui beberapa tahapan. Empat tahap teknik pemecahan masalah dengan kreatif, meliputi tahap orientasi, tahap persiapan, tahap penggagasan, tahap penilaian atau evaluasi, dan tahap pelaksanaan atau implementasi.
Teknik CPS Shallcross (dalam Munandar, 1995: 206) pada dasarnya sama dengan  tahap CPS yang didefinisikan oleh Osborn-Parnes hanya saja dimulai dari ungkapan masalah secara samar. Teknik CPS Shallcross dapat di jabarkan sebagai berikut.
1.      Mess-finding (menemukan masalah yang dirasakan sebagai pengganggu) Tahap pertama didahului dengan ungkapan pikiran dan perasaan mengenai masalah yang dirasakan sebagai mengganggu (mess) tetapi masih samar-samar (fuzzy problem).
2.      Fact-finding (menemukan fakta)
Tahap mendaftar semua fakta yang diketahui mengenai masalah yang ingin di pecahkan dan menemukan data baru yang diperlukan. Tahap ini didahului oleh keadaan “kacau“ dan masalahnya masih samar-samar (mess and fuzzy problem).
3.      Problem-finding (menemukan masalah)
Pada tahap menemukan masalah, diupayakan merumuskan masalah dengan menanyakan: “Dengan cara apa saya …”. Pernyataan ini mengundang memberikan gagasan. Pemikiran diharapkan dapat mengembangkan masalahnya dengan menemukan sub-masalah: masalah dapat dirumuskan kembali (redefinition) atau dipersempit.
4.      Idea-finding (menemukan ide gagasan)
Pada tahap menemukan idea tau gagasan diupayakan mengembangkan pemecahan masalah sebanyak mungkin.
5.      Solution-finding (menemukan solusi)
Pada tahap penemuan solusi, gagasan yang dihasilkan pada tahap sebelumnya diseleksi berdasarkan criteria evaluasi yang bersangkut paut dengan masalahnya, misalnya berdasarkan waktu, biaya, dan tenaga yang diperlukan untuk melakukan gagasan tersebut.
6.      Acceptance-finding (menemukan penerimaan)
Pada tahap terakhir, menemukan penerimaan atau tahap pelaksanaan disusun rencana tindakan agar mereka yang mengambil keputusan (kepala sekolah, orang tua, majikan, dan lainnya) dapat menerima gagasan tersebut dan melaksanakannya.
Bila kita bandingkan antara langkah-langkah CPS dengan langkah pemecahan masalah Polya maka akan kita dapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang cukup signifikan di antara kedua langkah tersebut. Hanya saja tujuan utama dari CPS (Parnes, 1985: 231) adalah membantu siswa untuk mengembangkan:
1.      kesadaran akan pentingnya usaha kreatif dalam belajar, pekerjaan, mencari ilmu pengetahuan dan seni, dan kehidupan pribadi;
2.      motivasi untuk menggunakan potensi kreatif;
3.      percaya diri dalam kemampuan kreatif;
4.      meningkatkan kesensitifan terhadap masalah dilingkungan sekitar (suatu sikap “merasa tidak puas yang membangun”)
5.      terbuka terhadap ide-ide orang lain;

6.      rasa penasaran yang lebih besar-kesadaran terhadap banyak tantangan dan kesempatan dalam kehidupan.

No comments:

Post a Comment