Dalam kehidupan di dunia ini kita tidak akan lepas dari masalah sebagian
orang mengatakan bahwa kehidupan ini sebenarnya adalah akumulasi dari masalah.
Setiap saat kita akan dihadapkan dengan suatu masalah atau bahkan sejumlah masalah
yang harus dipecahkan secara serempak.
Masalah atau problem dalam kamus Webster (Guralnik, 1962: 1161)
dinyatakan sebagai “anything required to be done, or requiring the doing of
something” segala sesuatu yang harus dilakukan atau menuntut pengerjaan.
Batasan tersebut berlaku umum mencakup segala aspek kehidupan baik itu oerasaan
sulit yang harus dipecahkan, rintangan yang harus dihadapi, perbedaan pendapat
yang harus dijembatani, situasi yang berbeda dengan kehendak kita, atau bahkan
soal-soal matematika yang harus dipecahan.
Berdasarkan tujuan pendidikan nasional secara mikro, salah satu indikator keberhasilan pendidikan nasional adalah lahirnya sumber daya manusia yang kreatif. Kreativitas ini akan terlihat dalam cara bagaimana siswa dapat memecahkan suatu kesulitan, rintangan, atau menjembatani suatu perbedaan pendapat ataupun suatu harapan dan kenyataan yang tidak sesuai secara logis, efektif dan efisien (Mulyasa, 2002: 21).
Penetapan kemampuan memecahkan masalah (bernalar tinggi) sebagai tujuan pembelajaran matematika sangat tepat. hal ini dapat dipahami sebab pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari delapan tipe yang dikemukakan Gagne (dalam Suherman, 2003: 89). Gagne (dalam Suherman, 2003: 89) mengemukakan delapan tipe belajar yaitu, “Signal learning, stimulus-response learning, chaining, verbal association, discrimination learning, concept learning, rule leraning, dan problem solving”. Pemecahan masalah merupakan perapaduan dari berbagai proses belajar sebelumnya.
Polya (dalam Suherman, 2003: 99) mengemukakan bahwa,
Dalam
pemecahan suatu masalah terdapat empat langkah yang harus dilakukan yaitu: (1)
memahami masalah, (2) merencanakan pemecahannya, (3) menyelesaikan masalah
sesuai rencana langkah kedua, dan 4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh
(looking back).
Untuk pembelajaran di Indonesia, Ruseffendi (dalam Rusmiati, 2007: 22)
melengkapi langkah-langkah Polya itu menjadi:
1.
menulis kembali soalnya dengan kata-kata sendiri;
2.
menulis persamaannya;
3.
menulis cara-cara menyelesaikan sebagai strategi
pemecahan;
4.
mendiskusikan cara-cara penyelesaian tersebut;
5.
mengerjakan;
6.
memeriksa kembali hasilnya; dan
7.
memilih cara penyelesaian yang paling baik.
Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa dalam kenyataannya mungkin saja tidak setiap langkah
harus dipergunakan. Misalnya saja dengan melihat persoalan itu sepintas siswa
sudah dapat menemukan cara menyelesaikanya. Jadi tidak perlu ada rencana lebih
dulu. Selain itu Dewey (dalam Rusmiati, 2007: 22) secara singkat mengajukan
langkah-langkah pemecahan masalah sebagai berikut: “(1) menyajikan masalah; (2)
mendefinisikan masalah; (3) mengembangkan beberapa hipotesis; (4) menguji
hipotesis-hipotesis itu; dan (5) memilih hipotesis yang terbaik”.
Berikut ini
adalah uraian singkat dari langkah-langkah Polya:
1.
Memahami Masalah
Memahami masalah merupakan tahap yang sangat penting dalam menyelesaikan
suatu masalah. Tanpa memahami masalah dengan baik, tentunya seseorang tidak
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Untuk memahami masalah, perlu
menjawab pertanyaan sebagai berikut; hal-hal apa yang tidak diketahui? Apakah data
itu sudah cukup untuk menyelesaikan masalah? Apakah data tersebut bertentangan?
Dalam proses pembelajaran ini, siswa dapat memahami masalah dengan
menuliskan semua hal atau data-data yang diketahui dari masalah tersebut.
2.
Menyusun rencana
Pada langkah ini ditentukan hubungan antar hal yang diketahui dengan hal
yang tidak diketahui, selanjutnya disusun rencana pemecahan masalahnya, dengan
memperhatikan hal-hal berikut: apakah siswa pernah menemukan masalah itu
sebelumnya? Apakah siswa dapat menggunakan teorema untuk menyelesaikan masalah
itu? Teori mana yang dapat digunakan dalam masalah itu? Apakah semua data dan
semua kondisi dapat digunakan?
Dalam proses pembajaran ini, siswa dapat menyusun rencana dengan membuat
sistematika langkah-langkah penyelesaian. Ada banyak strategi yang bisa
digunakan, jangan ragu-ragu untuk menggunakan salah satu dari strategi untuk
digunakan menyelesaikan soal-soal yang kita hadapi. Pada umumnya, strategi
berhasil ditemukan setelah beberapa kali mencoba strategi yang gagal.
3.
Melaksanakan rencana
Langkah ini lebih mudah dibanding menyusun strategi. Di sini hanya
diperlukan kesabaran dan kehati-hatian untuk menjalankan. Dalam proses ini,
siswa dapat menjalankan rencana yang telah disusunnya. Kemudian diperiksa
setiap langkah yang telah disusun apakah sudah benar? Bagaimana membuktikan
bahwa langkah yang ditempuhnya sudah benar?
4.
Memeriksa kembali
Dalam tahap ini diusahakan untuk mengontrol langkah-langkah yang telah
dilakukan, apakah sudah benar atau tidak? Jika ada kesalahan dimana letak
kesalahannya itu dan bagaimana cara memperbaikinya? Selanjutnya kalau perlu
menyusun strategi baru yang lebih baik atau menuliskan jawaban dengan lebih
baik.
CPS atau pemecahan masalah menurut Yudianto (2003: 26) merupakan
teknik yang sistematik dalam mengorganisasikan dan mengolah keterangan dan
gagasan, sehingga masalah dapat dipahami dan dipecahkan secara imajinatif.
Karena sifat CPS dan sifat matematika memiliki kemiripan yaitu bekerja
secara runtut, runut, dan sistematis, maka CPS dapat diterapkan di dalam
matematika. Lima langkah CPS yang
didefinisikan oleh parnes sebagai Presiden dari Creative Problem Solving
Foundation (CPSF) (dalam Munandar, 1999: 206), yaitu tahap menemukan fakta,
tahap menemukan masalah, tahap menemukan gagasan, tahap menemukan penyelesaian,
dan tahap menemukan penerimaan.
Sehubungan dengan tingkatan dalam proses kreatif, Shallcross (dalam
Munandar, 1999: 207) membedakan antara primary creativity (kreativitas
primer) dengan secondary creativity (kreativitas sekunder). Kreativitas
primer ialah proses pemecahan masalah secara alamiah oleh pikiran kita, karena
pemikir tidak menyadari bahwa terjadi suatu proses. Kreativitas sekunder ada
peningkatan kesadaran dalam pemecahan yang berlangsung melalui beberapa
tahapan. Empat tahap teknik pemecahan masalah dengan kreatif, meliputi tahap
orientasi, tahap persiapan, tahap penggagasan, tahap penilaian atau evaluasi,
dan tahap pelaksanaan atau implementasi.
Teknik CPS Shallcross (dalam Munandar, 1995: 206) pada dasarnya
sama dengan tahap CPS yang
didefinisikan oleh Osborn-Parnes hanya saja dimulai dari ungkapan masalah
secara samar. Teknik CPS Shallcross dapat di jabarkan sebagai berikut.
1.
Mess-finding (menemukan
masalah yang dirasakan sebagai pengganggu) Tahap pertama didahului dengan
ungkapan pikiran dan perasaan mengenai masalah yang dirasakan sebagai
mengganggu (mess) tetapi masih samar-samar (fuzzy problem).
2.
Fact-finding (menemukan
fakta)
Tahap mendaftar semua fakta
yang diketahui mengenai masalah yang ingin di pecahkan dan menemukan data baru
yang diperlukan. Tahap ini didahului oleh keadaan “kacau“ dan masalahnya masih
samar-samar (mess and fuzzy problem).
3.
Problem-finding (menemukan
masalah)
Pada tahap menemukan
masalah, diupayakan merumuskan masalah dengan menanyakan: “Dengan cara apa saya
…”. Pernyataan ini mengundang memberikan gagasan. Pemikiran diharapkan dapat
mengembangkan masalahnya dengan menemukan sub-masalah: masalah dapat dirumuskan
kembali (redefinition) atau dipersempit.
4.
Idea-finding (menemukan
ide gagasan)
Pada tahap menemukan idea
tau gagasan diupayakan mengembangkan pemecahan masalah sebanyak mungkin.
5.
Solution-finding (menemukan
solusi)
Pada tahap penemuan solusi,
gagasan yang dihasilkan pada tahap sebelumnya diseleksi berdasarkan criteria
evaluasi yang bersangkut paut dengan masalahnya, misalnya berdasarkan waktu,
biaya, dan tenaga yang diperlukan untuk melakukan gagasan tersebut.
6.
Acceptance-finding (menemukan
penerimaan)
Pada tahap terakhir, menemukan
penerimaan atau tahap pelaksanaan disusun rencana tindakan agar mereka yang
mengambil keputusan (kepala sekolah, orang tua, majikan, dan lainnya) dapat
menerima gagasan tersebut dan melaksanakannya.
Bila kita bandingkan antara langkah-langkah CPS dengan langkah
pemecahan masalah Polya maka akan kita dapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang
cukup signifikan di antara kedua langkah tersebut. Hanya saja tujuan utama dari
CPS (Parnes, 1985: 231) adalah membantu siswa untuk
mengembangkan:
1.
kesadaran akan pentingnya usaha
kreatif dalam belajar, pekerjaan, mencari ilmu pengetahuan dan seni, dan
kehidupan pribadi;
2.
motivasi untuk menggunakan potensi
kreatif;
3.
percaya diri dalam kemampuan
kreatif;
4.
meningkatkan kesensitifan terhadap
masalah dilingkungan sekitar (suatu sikap “merasa tidak puas yang membangun”)
5.
terbuka terhadap ide-ide orang
lain;
6.
rasa penasaran yang lebih
besar-kesadaran terhadap banyak tantangan dan kesempatan dalam kehidupan.
No comments:
Post a Comment