Friday, May 31, 2013

Model Pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA)

Newell dan Simon (dalam Fitriani, 2006: 22) menyatakan bahwa, Mengembangkan suatu jenis pemecahan masalah dengan berdasarkan strategi heuristik yang lebih umum, yang disebut MEA. Melalui model MEA seseorang yang menghadapi masalah mencoba membagi permasalahan menjadi bagian-bagian tertentu dari permasalahan tersebut.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa MEA itu merupakan pengembangan suatu jenis pemecahan masalah dengan berdasarkan suatu strategi yang membantu siswa dalam menemukan cara penyelesaian masalah dengan melalui penyederhanaan masalah yang berfungsi sebagai petunjuk dalam menetapkan cara yang paling efektif dan efisien untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Newell dan Simon (dalam Fitriani, 2006: 22) menyatakan bahwa “Mends-Ends Analysis merupakan suatu proses untuk memecahkan suatu masalah ke dalam dua/lebih sub tujuan dan kemudian dikerjakan berturut-turut pada masing-masing tujuan tersebut”.
Glass dan Holyoak (dalam Fitriani, 2006: 23) menyatakan bahwa “MEA memuat dua langkah yang digunakan berulang-ulang”. Langkah-langkah tersebut adalah:
a.       Mengidentifikasi perbedaan antara current state (pernyataan sekarang)  dan goal state (tujuan);
b.      Menyusun sub tujuan (sub goal) untuk mengurangi perbedaan tersebut;
c.       Memilih operator yag tepat sehingga sub tujuan yang telah disusun dapat dicapai.


Suherman (2008 : 18) mengemukakan bahwa:
Model pembelajaran MEA adalah variasi dari pembelajaran pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan masalah berbasis heuristik, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana, identifikasi perbedaan susunan sub-sub masalah sehingga terjadi konektivitas, pilih strategi solusi.

Jadi model MEA adalah suatu model pembelajaran yang mengoptimalkan kegiatan pemecahan masalah, dengan melalui pendekatan heuristik yaitu berupa rangkaian pertanyaan yang merupakan petunjuk untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Guru hanya berperan sebagai fasilitator yang memberi kemudahan bagi siswa. Proses pembelajaran dengan model MEA memotivasi siswa untuk aktif dalam kegiatan pemecahan masalah. Siswa mengelaborasi masalah menjadi sub-sub masalah yang lebih sederhana. Tentunya dalam tahap ini siswa dituntut untuk memahami soal atau masalah yang dihadapi. Kemudian mengidentifikasi perbedaan antara kenyataan yang dihadapi dengan tujuan yang ingin dicapai, setalah itu siswa menyusun sub-sub masalah tadi agar terjadi konektivitas atau hubungan antara sub masalah yang satu dengan sub masalah yang lain dan menjadikan sub masalah-sub masalah tersebut menjadi kesatuan, siswa mengajarkan berturut-turut pada masing-masing sub masalah tersebut. Pada tahap ini siswa memikirkan solusi (cara) yang paling tepat, efektif dan efisien untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Setelah itu dilakukan pengecekan kembali untuk melihat hasil pengerjaan dan mengoreksi jika terdapat kesalahan perhitungan atau kesalahan dalam pemilihan strategi solusi.
Langkah-langkah proses pembelajaran dengan model MEA:
1.      Siswa dijelaskan tujuan pembelajaran. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih;


2.      Siswa dibantu mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, dll);
3.      Siswa dikelompokan siswa menjadi 5 atau 6 kelompok (kelompok yang dibentuk harus heterogen), dan memberi tugas/soal pemecahan masalah kepada setiap kelompok;
4. Siswa dibimbing siswa untuk mengidentifikasi masalah, menyederhanakan masalah, hipotesis, mengumpulkan data, membuktikan hipotesis, menarik kesimpulan;
5.    Siswa dibantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan;
6.      Siswa dibimbing untuk menyimpulkan materi yang telah dipelajari.
Pembelajaran dengan model MEA menuntut siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Sehingga siswa yang dominan berperan dalam proses pembelajaran, sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator. Materi pembelajaran tidak disajikan dalam bentuk jadi, tetapi harus merupakan temuan dari siswa sehingga pembelajaran akan semakin bermakna.
Menurut Suherman dan Winataputra (dalam Rohayati, 2005: 13) bahwa,
Pengajaran secara bermakna (meaningfull learning) dimaksudkan sebagai pembelajaran yang mengutamakan pengertian daripada hafalan. Bukan belajar menerima (reception learning). Dalam belajar bermakna aturan-aturan matematika tidak disajikan dalam bentuk jadi, sebaliknya aturan-aturan tersebut harus ditemukan oleh siswa melalui contoh-contoh secara induktif, kemudian dibuktikan secara deduktif.

Beberapa bentuk belajar bermakna menurut Wilis (dalam Rohayati, 2005: 15).
1.      Belajar Represional


Belajar represional merupakan suatu proses belajar untuk mendapatkan makna dari simbol-simbol.
2.      Belajar Konsep
Suatu konsep akan mempunyai makna logis dan makna psikologis. Makna logis terbentuk karena pemahaman akan ciri-ciri umum yang ditemukan dalam kehidupan. Makna psikologis merupakan makna yang diperoleh dari pengalaman pribadi/subjek individu.
3.      Belajar Proporsi
Proporsi merupakan suatu ungkapan yang menjelaskan hubungan antara dua atau lebih konsep. Proporsi ini ada yang umum dan ada yang khusus.
4.      Belajar diskaveri
Belajar ini menekankan kepada penemuan dan pemecahan oleh siswa sendiri.
5.      Belajar Pemecahan Masalah
Pemecahan mesalah merupakan salah satu bentuk pembelajaran diskaveri tingkat tinggi. Siswa dihadapkan kepada suatu masalah yang perlu pemecahan. Siswa berusaha membatasi masalah, membuat jawaban sementara, mencari data-data, mengadakan pembuktian hipotesis dan menarik kesimpulan.
6.      Belajar Kreativitas
Belajar ini merupakan bentuk belajar diskaveri tingkat tinggi dengan bermodalkan potensi-potensi yang dimilikinya. Siswa dituntut untuk menciptakan dan melahirkan sesuatu yang baru.


            Menurut Sofa, (Januari 30,2008) bahwa
Belajar diskaveri memerlukan proses mental seperti mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, menjelaskan dan mengambil kesimpulan. Pada kegiatan diskaveri guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh memecahkan masalah melalui percobaan. Keterampilan mental yang dituntut lebih tinggi dari diskaveri antara lain: merancang dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data dan mengambil kesimpulan.
Model MEA memiliki keunggulan dalam penerapannya dalam proses pembelajaran. Adapun keunggulannya adalah sebagai berikut:
1.      Siswa dapat terbiasa untuk memecahkan/menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah matematik;
2.      Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering mengekspresikan idenya;
3.      Siswa memiliki kesempatan lebih benyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan matematik;
4.      Siswa dengan kemampuan matematika rendah dapat merespon permasalahan dengan cara mereka sendiri;
5.      Siswa memiliki pengalaman banyak untuk menemukan sesuatu dalam menjawab pertanyaan melalui diskusi kelompok;
6.      Strategi heuristik dalam MEA memudahkan siswa dalam memecahkan masalah matematik.
Selain memiliki keunggulan, model MEA juga memiliki kelemahan.
Kelemahan tersebut sebagai berikut:


1.      membuat soal pemecahan masalah yang bermakna bagi siswa bukan merupakan hal yang mudah;
2.      mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit sehingga banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon masalah yang diberikan;
3.      lebih dominannya soal pemecahan masalah terutama soal yang terlalu sulit untuk dikerjakan, terkadang membuat siswa jenuh;

4.      sebagian siswa bisa merasa bahwa kegiatan belajar mereka tidak menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi.

2 comments: