Newell dan Simon (dalam Fitriani, 2006: 22)
menyatakan bahwa, Mengembangkan suatu jenis pemecahan masalah dengan
berdasarkan strategi heuristik yang lebih umum, yang disebut MEA. Melalui model
MEA seseorang yang menghadapi masalah mencoba membagi permasalahan menjadi
bagian-bagian tertentu dari permasalahan tersebut.
Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa MEA itu merupakan pengembangan suatu jenis
pemecahan masalah dengan berdasarkan suatu strategi yang membantu siswa dalam
menemukan cara penyelesaian masalah dengan melalui penyederhanaan masalah yang
berfungsi sebagai petunjuk dalam menetapkan cara yang paling efektif dan
efisien untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Newell dan Simon (dalam Fitriani, 2006: 22) menyatakan bahwa “Mends-Ends Analysis merupakan suatu proses untuk memecahkan suatu masalah ke dalam dua/lebih sub tujuan dan kemudian dikerjakan berturut-turut pada masing-masing tujuan tersebut”.
Glass dan
Holyoak (dalam Fitriani, 2006: 23) menyatakan bahwa “MEA memuat dua langkah
yang digunakan berulang-ulang”. Langkah-langkah tersebut adalah:
a. Mengidentifikasi
perbedaan antara current state
(pernyataan sekarang) dan goal
state (tujuan);
b. Menyusun
sub tujuan (sub goal) untuk mengurangi perbedaan tersebut;
c. Memilih
operator yag tepat sehingga sub tujuan yang telah disusun dapat dicapai.
Suherman (2008 : 18) mengemukakan bahwa:
Model pembelajaran MEA adalah variasi dari pembelajaran
pemecahan masalah dengan sintaks: sajikan materi dengan pendekatan pemecahan
masalah berbasis heuristik, elaborasi menjadi sub-sub masalah yang lebih
sederhana, identifikasi perbedaan susunan sub-sub masalah sehingga terjadi
konektivitas, pilih strategi solusi.
Jadi
model MEA adalah suatu model pembelajaran yang mengoptimalkan kegiatan
pemecahan masalah, dengan melalui pendekatan heuristik yaitu berupa rangkaian
pertanyaan yang merupakan petunjuk untuk membantu siswa dalam memecahkan
masalah yang dihadapi. Guru hanya berperan sebagai fasilitator yang memberi
kemudahan bagi siswa. Proses pembelajaran dengan model MEA memotivasi siswa untuk aktif
dalam kegiatan pemecahan masalah. Siswa mengelaborasi masalah menjadi sub-sub
masalah yang lebih sederhana. Tentunya dalam tahap ini siswa dituntut untuk
memahami soal atau masalah yang dihadapi. Kemudian mengidentifikasi perbedaan
antara kenyataan yang dihadapi dengan tujuan yang ingin dicapai, setalah itu
siswa menyusun sub-sub masalah tadi agar terjadi konektivitas atau hubungan
antara sub masalah yang satu dengan sub masalah yang lain dan menjadikan sub
masalah-sub masalah tersebut menjadi kesatuan, siswa mengajarkan berturut-turut pada masing-masing sub masalah
tersebut. Pada tahap ini siswa memikirkan solusi (cara) yang paling tepat,
efektif dan efisien untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Setelah itu
dilakukan pengecekan kembali untuk melihat hasil pengerjaan dan mengoreksi jika
terdapat kesalahan perhitungan atau kesalahan dalam pemilihan strategi solusi.
Langkah-langkah proses pembelajaran dengan model MEA:
1.
Siswa dijelaskan tujuan pembelajaran. Memotivasi siswa terlibat
dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih;
2.
Siswa dibantu mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, dll);
3.
Siswa dikelompokan siswa menjadi 5 atau 6 kelompok (kelompok yang
dibentuk harus heterogen), dan memberi tugas/soal pemecahan
masalah kepada setiap kelompok;
4. Siswa dibimbing siswa untuk mengidentifikasi masalah,
menyederhanakan masalah, hipotesis, mengumpulkan data, membuktikan hipotesis,
menarik kesimpulan;
5. Siswa dibantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan;
6.
Siswa dibimbing untuk menyimpulkan materi yang telah dipelajari.
Pembelajaran
dengan model MEA menuntut siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan
belajar mengajar. Sehingga siswa yang dominan berperan dalam proses
pembelajaran, sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator.
Materi pembelajaran tidak disajikan dalam bentuk jadi, tetapi harus merupakan
temuan dari siswa sehingga pembelajaran akan semakin bermakna.
Menurut
Suherman dan Winataputra (dalam Rohayati, 2005: 13) bahwa,
Pengajaran secara
bermakna (meaningfull learning)
dimaksudkan sebagai pembelajaran yang mengutamakan pengertian daripada hafalan.
Bukan belajar menerima (reception
learning). Dalam belajar bermakna aturan-aturan matematika tidak disajikan
dalam bentuk jadi, sebaliknya aturan-aturan tersebut harus ditemukan oleh siswa
melalui contoh-contoh secara induktif, kemudian dibuktikan secara deduktif.
Beberapa
bentuk belajar bermakna menurut Wilis (dalam Rohayati, 2005: 15).
1.
Belajar Represional
Belajar represional merupakan suatu proses belajar untuk
mendapatkan makna dari simbol-simbol.
2.
Belajar Konsep
Suatu konsep akan mempunyai makna logis dan makna
psikologis. Makna logis terbentuk karena pemahaman akan ciri-ciri umum yang ditemukan dalam kehidupan.
Makna psikologis merupakan makna yang diperoleh dari pengalaman pribadi/subjek
individu.
3.
Belajar Proporsi
Proporsi merupakan suatu ungkapan yang menjelaskan
hubungan antara dua atau lebih konsep. Proporsi ini ada yang umum dan ada yang
khusus.
4.
Belajar diskaveri
Belajar ini menekankan kepada penemuan dan pemecahan oleh
siswa sendiri.
5.
Belajar Pemecahan Masalah
Pemecahan mesalah merupakan salah satu bentuk
pembelajaran diskaveri tingkat tinggi. Siswa dihadapkan kepada suatu masalah
yang perlu pemecahan. Siswa berusaha membatasi masalah, membuat jawaban
sementara, mencari data-data, mengadakan pembuktian hipotesis dan menarik
kesimpulan.
6.
Belajar Kreativitas
Belajar ini merupakan bentuk belajar diskaveri tingkat tinggi dengan bermodalkan potensi-potensi yang
dimilikinya. Siswa dituntut untuk menciptakan dan melahirkan sesuatu yang baru.
Menurut Sofa, (Januari 30,2008) bahwa
Belajar diskaveri memerlukan proses mental seperti mengamati, mengukur,
menggolongkan, menduga, menjelaskan dan mengambil kesimpulan. Pada kegiatan diskaveri guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh memecahkan masalah melalui percobaan. Keterampilan mental yang
dituntut lebih tinggi dari diskaveri antara lain: merancang dan melakukan percobaan,
mengumpulkan dan menganalisis data dan mengambil kesimpulan.
Model
MEA memiliki keunggulan dalam penerapannya dalam proses pembelajaran. Adapun
keunggulannya adalah sebagai berikut:
1.
Siswa dapat
terbiasa untuk memecahkan/menyelesaikan soal-soal pemecahan
masalah matematik;
2. Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan
sering mengekspresikan idenya;
3.
Siswa memiliki
kesempatan lebih benyak dalam memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan
matematik;
4.
Siswa dengan
kemampuan matematika rendah dapat merespon permasalahan dengan cara mereka
sendiri;
5.
Siswa memiliki
pengalaman banyak untuk menemukan sesuatu dalam menjawab pertanyaan melalui
diskusi kelompok;
6.
Strategi heuristik
dalam MEA memudahkan siswa dalam memecahkan masalah matematik.
Selain
memiliki keunggulan, model MEA juga memiliki kelemahan.
Kelemahan tersebut
sebagai berikut:
1.
membuat soal pemecahan
masalah yang bermakna bagi siswa bukan merupakan hal yang mudah;
2.
mengemukakan
masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit sehingga banyak siswa
yang mengalami kesulitan bagaimana merespon masalah yang diberikan;
3.
lebih dominannya
soal pemecahan masalah terutama soal yang terlalu sulit untuk dikerjakan,
terkadang membuat siswa jenuh;
4.
sebagian siswa bisa
merasa bahwa kegiatan belajar mereka tidak menyenangkan karena kesulitan yang
mereka hadapi.
contoh soalnya gimana ?
ReplyDeleteuntuk kelas 6 materi yang cocok apa?
ReplyDelete