Pemahaman berasal dari kata dasar paham yang berarti mengerti benar.
Seseorang dikatakan paham terhadap suatu hal apabila orang tersebut mengerti
benar dan mampu menjelaskan hal yang dipahaminya. Pemahaman
konsep (Concept Understanding) biasanya
disingkat dengan CU merupakan salah satu aspek dari tiga aspek penelitian
matematik. Penilaian pada aspek pemahaman konsep, bertujuan mengetahui sejauh
mana siswa mampu menerima dan memahami konsep dasar matematik yang telah
diterima.
Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara soal pemahaman konsep dengan soal untuk aspek penilaian yang lain. Menurut Sa’dijah (2007: 1) ada tujuh ciri soal pemahaman konsep. Ciri-ciri tersebut antara lain:
1. menyatakan
ulang sebuah konsep;
2. mengklasifikasi
objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya);
3. memberi contoh
dan non-contoh dari konsep;
4. menyajikan
konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis;
5. mengembangkan
syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep;
6. menggunakan,
memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu;
7.
mengaplikasikan konsep
atau algoritma pemecahan masalah.
Selanjutnya,
peningkatan kemampuan pemahaman matematik dapat diukur dengan mengadopsi
penskoran menurut Holistic Scoring Rubrics dari Utari
(dalam Susilawati, 2008: 63) seperti tertera pada tabel berikut.
Tabel 2.1
Holistic Scoring
Rubrics
Pemahaman Konsep Matematika
Tingkat
Pemahaman
|
Kriteria
|
skor
|
Tidak Paham
|
Jawaban hanya mengulang pertanyaan
|
0
|
Miskonsepsi
|
Jawaban menunjukan salah paham yang
berdasar tentang konsep yang dipelajari
|
1
|
Moskonsepsi
Sebagian
|
Jawaban memberikan sebagian informasi yang
benar tapi menunjukan adanya kesalahan konsep dalam menjelaskan
|
2
|
Paham Sebagian
|
Jawaban benar dan mengandung paling sedikit
satu konsep ilmiah serta tidak mengandung satu kesalahan konsep
|
3
|
Paham Seluruhnya
|
Jawaban benar dan mengandung seluruh konsep
ilmiah.
|
4
|
Pemahaman konsep
membantu siswa untuk mengingat. Hal tersebut dikarenakan ide-ide matematik yang
dipelajari melalui pemahaman saling terhubung. Mereka dapat lebih mudah
mengingat dan menggunakan, serta dapat menyusun kembali ketika mereka lupa.
Siswa mengingat kembali apa yang mereka pahami dan mencoba untuk
mempresentasikannya ke dalam pemikirannya sendiri.
Indikator yang harus dimiliki
siswa untuk kemampuan pemahaman adalah mengenal, mengingat, menerapkan,
algoritma, menduga, mengaitkan, menghitung, dan memberikan contoh. Hal ini
sejalan dengan pendapat Mastie dan Jhonson (dalam Janah, 2007: 17) bahwa,
“Pemahaman terjadi ketika orang mampu mengenali, menjelaskan dan
menginterprestasikan suatu masalah”.
Anak sudah memiliki
kemampuan mengenal angka sejak dini bahkan sebelum usia sekolah. Anak usia
pra-sekolah sudah mengerti tentang kuantitas, misalnya banyak sedikitnya benda,
dapat mengenali perubahan dalam banyaknya benda yang disebabkan oleh adanya
benda yang ditambah atau dikurangi dari sekelompok benda dan mengurut besar
kecilnya sejumlah benda sesuai dengan banyaknya benda tersebut. Butterworth
(2009: 1) mengasumsikan bahwa,“Setiap anak mempunyai modul angka (number module) yang terberi sejak lahir
secara biologis yang terletak di otak”. Jadi secara umum, tampaknya semua anak
mempunyai kapasitas yang terberi sejak lahir yang kurang lebih sama dalam
mengenal angka yang sifatnya biologis, walaupun
tentu saja pasti ada variasi individual. Jika faktor
biologis, dalam hal ini otak, mempunyai andil yang cukup besar dalam mendasari
pemahaman angka dan matematika. Otak pun memberikan impresi bahwa “seharusnya”
semua anak mempunyai kemampuan dan pemahaman yang sama dalam bidang ini, lalu
mengapa ada anak yang memiliki kemampuan matematika yang sangat tinggi
sedangkan sebagian lainnya harus berjuang keras untuk dapat memahaminya.
Berpijak pada adanya
perbedaan individual dalam pemahaman dan kemampuan matematika, cukup menarik
apabila disimak bahwa ternyata perbedaan
kemampuan dan pemahaman matematik juga terjadi diantara dua atau lebih
budaya.
Kembali lagi pada
penjelasan sebelumnya mengenai faktor biologis yang mempengaruhi kemampuan angka
dan matematik pada anak, ‘seharusnya’ apabila faktor biologis sebagai penentu
tunggal dari kemampuan pemahaman angka dan matematik pada anak, maka tidak akan
ada perbedaan lintas-budaya dalam kemampuan ini, karena semua anak diciptakan
kurang lebih sama dari manapun ia berasal. Jadi faktor yang mempengaruhi
masalah pemahaman matematik tidak sepenuhnya pada aspek biologis saja tapi juga
dalam perkembangannya dipengaruhi proses belajar dan pembelajaran yang dijalani
oleh individu itu sendiri.
No comments:
Post a Comment