RME
adalah suatu teori pembelajaran dalam pendidikan matematika yang
berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika
harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa
sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses
matematisasi baik horizontal maupun vertikal.
Model pembelajaran RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970 oleh institut Freudenthal dan menunjukan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang dilakukan dalam RME meliputi.
a. Menemukan
masalah-masalah atau soal-soal kontekstual (looking
for problems).
b. Memecahkan
masalah (problem solving).
c. Mengorganisasikan
bahan ajar (organizing a subject matter).
Hal ini dapat berupa realitas-realitas
yang perlu diorganisasikan secara matematis dan juga ide-ide matematika yang
perlu diorganisasikan dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian
ini disebut matematisasi.
Seorang
ahli berpendapat sebagai berikut.
Pada
RME siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain,
siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal
bentuk matematika untuk di pahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan,
dan pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan proses matematisasi horizontal. Selanjutnya dilakukan
matematisasi vertikal, yakni siswa
menyelesaikan bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan
konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa
(Armanto, 2001 : 43).
Jadi
pada langkah matematisasi horizontal berangkat dari permasalahan dunia nyata
ditarik masuk ke dalam dunia simbol. Sedangkan dalam matematisasi vertikal
adalah proses pelaksanaan pemecahan masalah-masalah dalam bentuk simbol-simbol
matematika sesuai prosedur matematika. RME ini mengacu pada pendapat
Freudenthal yang mengatakan bahwa “Matematika harus dikaitkan dengan realita
dan matematika merupakan aktivitas manusia”. Ini berarti matematika harus dekat
dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. (dalam Depdiknas,
1994 : 21) mengatakan bahwa “Matematika sebagai aktivitas manusia berarti
manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep
matematika dengan bimbingan orang dewasa”. Upaya ini dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam
hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh para siswa (dalam Depdiknas, 2000: 34). Prinsip penemuan
kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informasi, sedangkan
proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Dua
jenis matematisasi diformulasikan (dalam Depdiknas, 1991 : 25), yaitu
matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi horizontal
adalah pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah dalam
cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia riil ke masalah
matematika. Contoh dari matematisasi vertikal
adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan
penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan
penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang,
karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (dalam Depdiknas, 2000 : 17).
Berdasarkan
matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan
matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan
realistik (dalam Depdiknas, 2005:95).
1. Pendekatan
mekanistik
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa
yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang
lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Jenis
matematisasi ini tidak digunakan.
2. Pendekatan
empiristik
Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika
tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi
horizontal.
3. Pendekatan
strukturalistik
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem
formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan
nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
4. Pendekatan
realistik
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah
realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi
horizontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi
konsep-konsep matematika.
Tabel
2.1 Tipe Pendekatan Pembelajaran Matematika
Tipe
|
Matematika
Horizontal
|
Matematika
Vertikal
|
Mekanistik
|
-
|
-
|
Empiristik
|
+
|
-
|
Strukturalistik
|
-
|
+
|
Realistik
|
+
|
+
|
Sumber : Freudenthal , 1991 : 48
Pembelajaran
RME mempunyai karakteristik menggunakan konteks dunia nyata, model-model,
produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (interteinment) (dalam Depdiknas, 1991 : 35).
a.
Menggunakan
Konteks “Dunia Nyata”
Pada gambar di atas menunjukkan dua
proses matematisasi yang berupa siklus dimana “dunia nyata” tidak hanya sebagai
sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali
matematika.
Pada
Gambar Konsep Matematika (De Lange, 1987
: 15) berpendapat bahwa, “Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah
kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan
pengalaman sebelumnya secara langsung”.
Proses pencairan (inti) dari konsep yang
sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987 : 18) sebagai
Matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan
mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa, dapat mengaplikasikan
konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (Applied Mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani
konsep-konsep matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari perlu diperhatikan
matematisasi pengalaman sehari-hari (Mathematization
of everyday experience ) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (dalam
Freudenthal, 2000 : 12).
b.
Menggunakan
Model-Model (Matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model
situasi dan model matematisasi yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed
models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak
atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model
sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan
dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah
menjadi model-of masalah tersebut.
Melalui penalaran matematis model-of
akan bergeser menjadi model-far masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan
menjadi model matematika formal.
c.
Menggunakan
Produksi dan Konstruksi
Stretland (dalam Depdiknas, 1991 : 45) menekankan bahwa “dengan pembuatan “Produksi
Bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi
pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar”.
Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah
kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih
lanjut yaitu untuk mengkontruksi pengetahuan matematika formal.
d.
Menggunakan
Interaksi
Interaksi antara siswa dan guru
merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi
yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan
atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk
informal siswa.
e.
Menggunakan
Keterkaitan
Dalam RME pengintegrasian unti-unit
matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan
keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan
masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang
lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga
bidang lain.
Matematika
Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika
sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa
sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai
sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal, pembelajaran MR dikelas berorientasi
pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk
menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal,
selanjutnya siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika
untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah di bidang lain. Pembelajaran
ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung
berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai
untuk memecahkan masalah-masalah. Karena matematika realistik menggunakan
masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu
diusahakan benar-benar kontekstual atau sesuai pengalaman siswa, sehingga siswa
dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi
horizontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai
inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya melalui matematika
vertikal. Melalui proses matematisasi horizontal-vertikal diharapkan siswa
dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika
formal).
Pembelajaran matematika menurut
pandangan konstruktivis adalah
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau
prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses
internalisasi guru dalam hal ini berperan sebagai facilitator.
Menurut
Davis (dalam Depdiknas, 1996 : 42),
Pandangan
konstruktivis dalam pembelajaran
matematika berorientasi pada :
1.
Pengetahuan
dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
2.
Dalam
pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada permasalahan.
3.
Informasi
baru harus dihubungkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu
kerangka logis yang mentransportasikan, mengorganisasikan, dan menginterprestasikan
pengalamannya.
4.
Pusat
pembelajaran adalah bagaimana siswa berfikir, bukan apa yang mereka katakan
atau tuliskan.
1.1.1
Prinsip
– prinsip Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Sejalan
dengan konsep asalnya, PMRI dikembangkan dari tiga prinsip dasar yang mengawali
RME, yaitu guided reinvention and
progressive mathematization, didactial phenomenology, serta self-developed models (2009:2). Prinsip
RME menurut Van den Heuvel-Panhuizen dalam Supinah (2009 : 75) adalah sebagai
berikut.
a. Prinsip
aktivitas
Yaitu matematika adalah aktivitas
manusia. Pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam
pembelajaran matematika. Menurut Freudental, karena ide proses matematisasi
berkaitan dengan pandangan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, maka
cara terbaik untuk mempelajari matematika adalah melalui doing yakni dengan mengerjakan.
b. Prinsip
realitas
Yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai
dengan masalah-masalah yang realistik atau dapat dibayangkan oleh siswa. Tujuan
utama adalah agar siswa mampu mengaplikasikan matematika. Dengan demikian
tujuan yang paling utama adalah agar siswa mampu menggunakan matematika yang
mereka pahami untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Prinsip realitas ini
tidak hanya dikembangkan pada tahap akhir dari suatu proses pembelajaran
melainkan dipandang sebagai suatu sumber untuk belajar matematika.
c. Prinsip
berjenjang
Artinya dalam belajar matematika siswa
melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu
masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan
solusi suatu masalah matematis secara formal.
d. Prinsip
jalinan
Artinya berbagai aspek atau topik dalam
matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah,
tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara
materi-materi itu secara lebih baik.
e. Prinsip
interaksi
Yaitu matematika dipandang sebagai
aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan
strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk
ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya
menemukan itu serta menanggapinya.
f. Prinsip
bimbingan
Yaitu siswa perlu diberi kesempatan
untuk menemukan (reinvention)
pengetahuan matematika secara terbimbing.
1.1.2
Standar
Penjaminan Mutu PMRI
Untuk
melengkapi karakteristik RME, tim pengembang PMRI dalam Quality Assurance Conference yang diadakan di Yogyakarta tanggal
17-18 April 2009 sepakat menetapkan beberapa standar penjaminan mutu PMRI.
Standar yang ditetapkan diantaranya meliputi standar guru PMRI, standar
pembelajaran PMRI, dan standar bahan ajar PMRI. Standar tersebut dapat
digunakan dan diacu para guru matematika. Berikut ini adalah standar dimaksud
yang berkaitan dengan guru matematika.
a. Standar
Guru PMRI
1. Guru
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang matematika dan PMRI
serta dapat menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
2. Guru
memfasilitasi siswa dalam berfikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk
mendorong inisiatif dan kreativitas siswa.
3. Guru
mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan
strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.
4. Guru
mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja sama dan berdiskusi
dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan siswa.
5. Guru
bersama siswa menyarikan (summarize)
fakta, konsep, dan prinsip matematika melalui proses refleksi dan konfirmasi.
b. Standar
Pembelajaran Menurut PMRI
1. Pembelajaran
dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar kompetensi dalam kurikulum.
2. Pembelajaran
diawali dengan masalah realistik sehingga siswa termotivasi dan terbantu
belajar matematika.
3. Pembelajaran
memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan
berdiskusi sehingga siswa dapat saling belajar dalam rangka pengkonstruksian
pengetahuan.
4. Pembelajaran
mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat pembelajaran lebih bermakna
dan membentuk pengetahuan yang utuh.
5. Pembelajaran
diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan fakta, konsep, dan
prinsip matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk
memperkuat pemahaman.
c. Standar
Bahan Ajar PMRI
1. Bahan
ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
2. Bahan
ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu
siswa belajar matematika.
3. Bahan
ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait sehingga siswa
memperoleh pengetahuan matematika yang bermakna dan utuh.
4. Bahan
ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan cara dan kemampuan
berpikir siswa.
5. Bahan
ajar dirumuskan atau disajikan sedemikian sehingga mendorong atau memotivasi
siswa berpikir kritis, kreatif, inovatif serta berinteraksi dalam belajar.
1.1.3
Refleksi
dan Penilaian dalam Pembelajaran PMRI
Dalam
setiap pembelajaran, refleksi merupakan suatu hal yang utama untuk memberikan
gambaran mengenai proses belajar mengajar yang telah berlangsung sebelumnya.
Refleksi merupakan suatu kegiatan dengan menyimak kembali secara intensif
terhadap proses pembelajaran, antara lain materi pelajaran, pengalaman,
ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan agar dapat memahami dan menangkap
maknanya secara lebih mendalam. Dengan demikian, akan mampu mengungkap tentang
apa yang sudah dan sedang dikerjakan. Apakah yang dikerjakan itu sesuai dengan
apa yang dipikirkan? Dengan adanya refleksi guru dapat mengetahui perkembangan
pembelajaran yang dilakukan. Hasil dari refleksi dapat menjadi gambaran bagi
guru dalam mengambil tindakan dalam kegiatan selanjutnya. Pentingnya refleksi
dinyatakan Supinah (2009 : 78) sebagai berikut.
1. Bagi
guru
Mendapatkan informasi tentang apa yang
dipelajari siswa dan bagaimana siswa mempelajarinya. Disamping itu, guru dapat
melakukan perbaikan dalam perencanaan dan pembelajaran pada
kesempatan-kesempatan berikutnya atau waktu yang akan datang.
2. Bagi
siswa
Meningkatkan kemampuan berfikir
matematika siswa, disamping itu juga sama halnya seperti yang dilakukan guru.
Tentang hal-hal yang perlu dalam
refleksi menurut Arvold, Turner, dan Cooney dalam Supinah ( 2009 : 79 )
merekomendasikan siswa untuk memberi jawaban atau respon terhadap pertanyaan-pertanyaan
berikut ini.
1. Apa
yang saya pelajari hari ini?
2. Kesulitan
apakah yang saya pelajari hari ini?
3. Bagian
matematika manakah yang saya suka?
4. Pada
bagian matematika manakah saya mengalami kesulitan?
Dari pihak guru, dalam melakukan
refleksi baik jika dapat mengikutsertakan metode mengajar, pedagogi,
penyelesaian yang menarik dan bermanfaat baginya serta bagaimana mengelola
suasana belajar yang baik dalam kelas. Dalam RME, penilaian bukan hanya pada
hasil akhir, tetapi juga pada proses pembelajaran itu sendiri. Idealnya, selama
kegiatan pembelajaran, proses penilaian pun dilaksanakan. Ada banyak hal yang
dapat digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan penilaian. Diantaranya,
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan menggunakan strategi yang
berbeda, interaksi siswa, diskusi selama proses belajar.
Tujuan dilaksanakannya penilaian untuk
memberi gambaran informasi tentang proses belajar mengajar yang telah
dilaksanakan dan dapat juga sebagai alat untuk membantu proses pengambilan
keputusan.
De Lange (1987) dalam Zulkardi (2002 :
35) “merumuskan lima prinsip panduan penaksiran atau penilaian dalam RME”,
seperti berikut.
1. Tujuan
utama pengujian adalah untuk memperbaiki proses belajar-mengajar.
2. Metode
penilaian sebaiknya dapat memudahkan para murid mendemonstrasikan apa yang
mereka tahu ketimbang apa yang tidak tahu.
3. Penilaian
sebaiknya mengoperasionalkan semua tujuan pendidikan matematika.
4. Kualitas
penilaian matematika tidak ditentukan oleh kemudahan akses terhadap penilaian
objektif.
5. Alat
penilaian sebaiknya praktis, cocok dengan praktik sekolah umum.
Dalam RME, proses dan produk berpengaruh
penting dalam penilaian sehingga diharapkan penilaian dilaksanakan baik selama
proses interaksi maupun hasil mereka.
Ada beberapa teknik penilaian yang dapat
digunakan. Suryanto (2010) memberikan beberapa alternatif yang dapat digunakan sebagai
sarana penilaian, yaitu.
1. Hasil
akhir siswa, dapat berupa jurnal, video, demonstrasi, majalah dinding, seni,
maupun hasil kontruksi model-model matematika.
2. Portofolio
siswa merupakan kumpulan karya siswa yang dihasilkan siswa. Dapat berupa
gambar, laporan, hasil analisis suatu permasalahan, ataupun proses penyelesaian
suatu masalah.
3. Penyelesaian
terhadap pemecahan permasalahan atau tanggapan terhadap pertanyaan terbuka yang
dituangkan dalam tulisan.
4. Kemampuan
menginvestigasi permasalahan berkaitan dengan bidang studi lain seperti ilmu
pengetahuan umum, ilmu sosial, ataupun penyelesaian soal-soal matematika itu
sendiri.
5. Tanggapan
siswa terhadap suatu kasus, situasi, dan permasalahan terbuka yang diberikan
guru.
6. Penilaian
kinerja siswa baik kelompok atau individu dalam memecahkan permasalahan.
7. Pengamatan
langsung terhadap siswa dalam usahanya menyelesaikan suatu permasalahan yang
diberikan guru.
8. Wawancara
dilakukan untuk mengetahui kedalaman pemahaman siswa terhadap permasalahan yang
disampaikan.
9. Mengajukan
pertanyaan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk berpikir sehingga guru
mampu menggali informasi terhadap pemahaman siswa.
10. Siswa
diberi kesempatan untuk menilai sendiri kemampuannya dalam belajar, disesuaikan
dengan pengembangan yang mereka kembangkan.
2.1.4
Desain
Pembelajaran Matematika Realistik
Desain
pembelajaran matematika realistik, sebagai berikut.
a. Tujuan
Lange (1995) menyatakan bahwa terdapat
tiga tingkatan tujuan dalam pendidikan matematika yaitu:
(1) Lower level
(2) Middle level
(3) Higher order level
Pembelajaran matematika realistik
haruslah meliputi semua tingkatan tujuan. Tingkat rendah lebih difokuskan pada
pengetahuan konseptual dan prosedural. Tingkat menengah dan atas lebih
difokuskan kepada kemampuan pemecahan masalah, berargumentasi, berkomunikasi,
dan pembentukan sikap kritis siswa.
b. Materi
Lange (1996) menegaskan bahwa “Materi
merupakan asosiasi aktivitas kehidupan nyata yang sangat spesifik, pengetahuan
dan strategi digunakan dalam konteks dari situasi”. Beragam soal kontekstual
digabungkan dalam kurikulum di mulai dari awal.
c. Aktivitas
Peran guru dalam pembelajaran matematika
realistik di dalam kelas (Lange, 1996; Gravemeijer, 1994) adalah sebagai
fasilitator, pengatur, penterjemah, dan evaluator sebagai dasar dari suatu
proses matematika, secara umum dapat digambarkan langkah-langkah peran guru
sebagai proses dasar dalam pembelajaran matematika realistik sebagai berikut.
1. Berikan
soal kontekstual pada siswa yang berhubungan dengan topik pembelajaran sebagai
titik awal.
2. Pada
waktu terjadi interaksi, berikan siswa petunjuk contohnya, dengan menggambarkan
tabel pada papan tulis, memadu siswa seorang-seorang atau dalam kelompok kecil
yang sekiranya membutuhkan bantuan guru.
3. Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membandingkan jawaban mereka dengan jawaban
temannya dalam diskusi kelas. Diskusi bertujuan untuk mengarahkan interpretasi
siswa dalam menterjemahkan soal kontekstual dan menyimpulkan solusi yang lebih
efisien dari beberapa jawaban yang bervariasi.
4. Biarkan
siswa menemukan solusi dengan cara mereka sendiri. Artinya siswa bebas untuk
membuat pernyataan dengan tingkat kemampuannya, untuk membangun pengalaman
dalam pengetahuan, dan memainkan jawaban pendek pada langkah-langkah yang
mereka kerjakan.
5. Berikan
soal lain dalam konteks yang sama.
6. Dalam
hal lain, peranan siswa dalam pembelajaran matematika realistik harus bekerja
sendiri-sendiri atau kelompok, mereka harus lebih percaya diri sendiri, dan
mereka menjawab dengan free production atau
kontribusi.
d. Evaluasi
Lange (1995) merumuskan lima prinsip
dalam evaluasi yang dapat dijadikan acuan dalam membuat evaluasi dalam
pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1. Tujuan
dasar tes adalah untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengajar. Artinya
evaluasi harus dapat mengukur siswa selama pembelajaran, bukan sekedar
penyediaan informasi tentang hasil belajar dalam bentuk nilai.
2. Metode
penilaian harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa untuk
menggambarkan apa yang mereka ketahui bukan mengungkapkan apa yang tidak mereka
ketahui. Hal tersebut dapat diadakan dengan memiliki soal yang terbuka, atau
mempunyai strategi jawaban yang berbeda.
3. Tes
harus melibatkan semua tujuan dari pendidikan matematika, proses berfikir
tingkat rendah, menengah, dan tinggi.
4. Alat
evaluasi harus bersifat praktis, sehingga kontruksi tes dapat disusun dengan
format yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan serta pencapaian tujuan yang
ingin diungkapkan.
2.1.5 Keunggulan RME
Menurut
Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran
matematika realistik, yaitu.
1. Pembelajaran
matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang
keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya
bagi manusia.
2. Pembelajaran
matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan
sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang
tersebut.
3. Pembelajaran
matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama
antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau
menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan
soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian
yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara
penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian
masalah tersebut.
4. Pembelajaran
matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan
orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri
konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu
(misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut,
pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
1.1.6
Kelemahan
RME
Adanya
persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan RME dapat muncul justru
menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan
tersebut, yaitu.
1. Tidak
mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya
mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedangkan
perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya RME.
2. Pencarian
soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam
pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan
matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut
harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3. Tidak
mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam
menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
4. Tidak
mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan
penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
trm ksh pak,sangat bermanfaat
ReplyDelete